PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Sutrisno/ Suyadi, M. pd.I
Disusun Oleh:
Zizah Nurhana 09410242
Sadam Fajar Shodiq 09410239
Muhammad Safwan 09410232
Anik Rohimah 09410202
Yekti Utami 09410196
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.
Wacana mengenai multikultural telah memasuki babak baru. Indikasinya, diskusi mengenai multikultural tidak saja terjadi di lingkungan tradisi akademis, melainkan telah menjadi bagian dari wacana dan kebijakan publik. Diskursus mengenai multikultural telah menjadi materi pendidikan, pelatihan, malahan kursus singkat yang amat praktis. Dorongan untuk mengangkat judul ini seluas mungkin ke dalam ranah diskursus disebabkan oleh anggapan bahwa pemahaman terhadap fenomena multikultural adalah suatu keharusan, karena tidak ada satu wilayah, etnis, agama yang terbebas sama sekali dari komunikasi dan interaksi dengan etnis, agama, serta antar golongan lainnya. Isu ini menjadi semakin menarik bersamaan dengan adanya fakta desintegrasi yang diakibatkan oleh realitas multikultur yang membawa korban manusia. Karena itu, persoalan multi budaya dan akibatnya bukan hanya menjadi kepentingan sekelompok orang, tetapi menjadi bagian dari persoalan pemerintah, negara, agama, dan malahan partai politik.
Dalam suara yang serempak beberapa cendekiawan atau pengamat berpendapat bahwa di satu sisi multibudaya menjadi sumber perekat keragaman etnis, tetapi secara bersamaan keberagaman ini juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu manifest saat semangat primordialisme tidak mampu dikelola dan dikendalikan secara bijaksana. Dalam lintasan sejarahnya, konflik yang ditimbulkan karena kondisi faktual multi budaya selalu beragam antar satu daerah dengan daerah lain dan dapat merembes kedalam proses politik Indonesia (contoh pilkada dibeberapa daerah). Akan tetapi, bersamaan dengan terjadinya kerusuhan di berbagai daerah di nusantara, tingkat migrasi ke daerah yang relatif aman menjadi semakin tinggi, sehingga sangat beralasan bila fenomena ini perlu diantisipasi secara positif. Pada titik inilah diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam dinamika multikultural.
Melihat fenomena tersebut, pendidikan di Indonesia haruslah peka menghadapi perputaran globalisasi. Pengalaman pahit masa lalu tidak perlu terulang kembali. Untuk itu, perlulah pendidikan multikultural sebagai jawaban atas beberapa problematika kemajemukan tersebut. Oleh sebab itu, penulis berusaha menjabarkan sedikit wawasan tentang pendidikan multikultural yang nantinya mudah-mudahan bisa bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif, maka pendidikan multikultural seyogyanya berisikan tentang tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethno-cultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokratisasi, pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan. Dengan melalui berbagai pendekatan, maka permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Apa Epistemologi Pendidikan itu?
2. Apa Epistemologi Multikulturalisme itu?
3. Bagaimana konsep pendidikan Multikultural itu?
Berangkat dari rumusan masalah di atas, tujuan tulisan ini adalah untuk menyumbangkan wawasan keilmuan dalam memahami fenomena kemajemukan yang ada di Indonesia sebagai mana disebutkan di atas. Tujuan lain adalah untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap fenomena-fenomana yang terjadi di lingkungan sekitar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Epistemologi Pendidikan
1. Pengertian Epistemologi Pendidikan
Epistemologi terdiri dari dua kata, “epistime” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Epistemologi sebagai satu kesatuan kata yang aktif berarti ilmu tentang pengetahuan.[1] Ilmu tentang pengetahuan mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan tentang ilmu. Pengetahuan tentang ilmu cenderung menerangkan tentang metafisika atau sering kita sebut dengan filsafat. Sedangkan ilmu tentang pengetahuan (epistemologi) lebih bersifat sistematis, koheren, dan konsisten jika lebih disederhanakan lagi akan mengarah pada ilmu (sains).
Dalam arti khusus, konsep ilmu tentang pengetahuan bersifat konkret, sedangkan konsep pengetahuan tentang ilmu pendidikan bersifat abstrak dan meluas. Dalam hal ini, perlu pemahaman yang baik ketika kita memahami tentang epistemologi.
Istilah pendidikan juga mempunyai rumusan yang sama seperti konsep epistemologi. Merumuskan pengertian atau tanda khusus dalam konsep pendidikan harus membedakan posisinya, yang berdiri sendiri atau sebagai bagian dari suatu frase kalimat. Secara tata bahasa, konsep epistemologi pendidikan disusun menurut kaidah subyek-obyek. Epistemologi sebagai subyek dan pendidikan sebagai obyek. Konsep epistemologi pendidikan dapat diartikan sebagai suatu usaha mencari tahu tentang asal-usul, jangkauan wilayah dan arah dari perkembangan ilmu pendidikan sebagai suatu obyek penelitian serta ditelaah secara sistematis, koheren dan konsisten dari awal sampai akhir.
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Nasional
Epistemologi memandang pendidikan sebagai ide, gagasan, dan pemikiran yang berdasarkan kaidah tertentu secara metodologis dan sistematis. Semakin ketat satu sistem bahasan pendidikan dalam mematuhi persyaratan ilmiah maka ia menduduki peringkat tertinggi dalam sistem ilmu pendidikan.[2] Bahasan seperti itu dapat disebut sebagai ilmu pendidikan. Apabila semakin toleran dan bebas satu sistem bahasan pendidikan dalam mematuhi persyaratan ilmiah maka ia menduduki peringkat terendah, bahasan seperti ini berhak disebut pengetahuan pendidikan.
Pandangan ilmu pengetahuan mengenai pengertian pendidikan yaitu bahwa pengertian pendidikan bersifat terbatas. Pendidikan sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan membentang luas ide, gagasan, dan pemikiran manusia. Akan tetapi, apabila kita kumpulkan dan ditarik sebuah pengertian umum maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada prinsipnya pendidikan adalah segala sesuatu yang mengalami proses perubahan ke arah yang lebih baik dari proses sebelumnya.
Pengertian pendidikan nasional menurut Sunarya (1969) adalah suatu sistem pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup dan tujuannya bersifat mengabdi kepada kepentingan dan cita-cita nasional bangsa tersebut.[3] Sedangkam menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pengertian pendidikan nasional adalah suatu usaha untuk membimbing warga Indonesia menjadi manusia yang berjiwa pancasila, yang mempunyai kepribadian yang berdasarkan akan ketuhananan, berkesadaran masyarakat, dan mampu membudayakan lingkungan sekitar dengan sebaik mungkin.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Pendidikan nasional mempunyai tujuan yang jelas yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya (manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa), berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan dan ketrampilan, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab pada masyarakat dan negara. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional dilaksanakan proses pendidikan nasional, yaitu setiap lima tahun sekali biasanya ditetapkan tujuan pendidikan nasional itu dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dijelaskan dalam GBHN.
Menurut Zahar Idris (1987), berpendapat bahwa Pendidikan nasional sebagai suatu sistem adalah karya manusia yang terdiri dari komponen-komponen yan mempunyai hubungan fungsional dalam rangka membantu terjadinya proses transformasi atau perubahan tingkah laku seseoang sesuai dengan tujuan nasional seperti tercantum dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.[4]
3. Fungsi Pendidikan
Pada dasarnya, pendidikan adalah memberikan bantuan, arahan bagi siswa untuk mengembangkan dan memunculkan potensi dalam dirinya. Selain itu, fungsi pendidikan secara mikro adalah membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani peserta didik untuk mengolah potensi yang dimiliki siswa.
Di Indonesia, pendidikan nasional dikonsepsikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini secara nyata tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan produk hukum lainnya.[5]
Merujuk penjelasan di atas, fungsi pendidikan sesungguhnya adalah membangun manusia yang beriman, cerdas kompetitif dan bermartabat. Beriman mengandung makna bahwa manusia mengakui adanya eksistensi Tuhan dan mengikuti ajaran dan menjauhi larangan-Nya. Kecerdasan intelektual tercermin dari kompetensi dan kemandirian dalam bidang IPTEKS, serta insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
Untuk mencapai tujuan dan fungsi pendidikan di atas, pendidikan nasional harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip tertentu, yaitu: (1) demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; (2) sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; (3) sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik dan berlangsung sepanjang hayat; (4) memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.[6]
B. Epistemologi Multikulturalisme
1. Pengertian Multikulturalisme
Untuk beberapa saat lamanya, multikulturalisme adalah istilah yang samar. Di satu sisi, ada keinginan yang jelas untuk mengatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan lain adalah baik atau setidaknya mengandung kebaikan sehingga kita dapat belajar dari mereka. Terkadang kita menyadari, bahwa di masa lalu kita kerap memberikan penilaian yang salah terhadap kebudayaan-kebudayaan lain, suatu penilaian yang didasarkan pada informasi yang tidak akurat dan pemahaman yang kurang memadai. Di sisi lain, ada pula keinginan untuk mengisolasi kebudayaan-kebudayaan lain tersebut dalam penilaian negatif kita. Penilaian negatif ini muncul dari pengalaman masa lampau dan juga sikap protektif terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain.
Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.[7] Kearifan itu akan muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat keadaan realitas yang plural sebagai satu kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.[8]
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Ada banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur dan sangat beragam, walaupun demikian ada beberapa titik kesamaan yang mempertemukan keragaman definisi yang ada tersebut. Salah satunya dapat dilakukan lewat pengidentifikasian karakteristiknya. Conrad P. Kottak menjelaskan bahwa kultur memiliki beberapa karakter khusus, antara lain:[9]
a. Kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus.
b. Kultur adalah sesuatu yang dipelajari.
c. Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami.
d. Kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat.
Dari karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman terhadap multikulturalisme, yaitu sebuah pemahaman tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan pemahaman, saling pengertian, toleransi dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan.
Multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.[10]
Untuk memahami multikulturalisme, dibutuhkan alternatif pemaknaan tentang ideologi. Pandangan dua tokoh berikul ini yaitu Antonio Gramsci dan Michel Bahktin tampaknya penting untuk dilihat. Menurut mereka, ideologi lebih merupakan masalah “partisipasi” daripada dominasi atau manipulasi; dalam arti luas lebih merupakan persoalan “pandangan dunia” daripada propaganda partisan.[11]
Intinya, multikulturalisme meyakini bahwa ketika orang-orang hidup saling berdekatan, ada keharusan interaksi antara kebudayaan-kebudayaan. Tak seorang pun dapat hidup terisolasi sepenuhnya. Yang kita butuhkan untuk saling mengenal keragaman budaya nusantara dan mancanegara adalah pendidikan.
Dengan demikian multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengetahui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis maupun agama. Ia merupakan konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Dan bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang ditandai oleh kesediaan masing-masing kelompok untuk menghormati dan menghargai budaya lain.[12]
2. Gagasan Multikulturalisme
Strategi pendidikan multikultural, sejak lama telah berkembang di Eropa, Amerika dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan ini, dengan demikian bukan merupakan hal baru. Strategi ini adalah pengembangan dari studi interkultural dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap para imigran baru. Studi ini juga memiliki tujuan politis sebagai alat kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan stabil.[13]
Namun dalam perkembangannya, tujuan politisi ini menipis dan bahkan hilang sama sekali, karena “ruh” dan “ nafas” dari pendidikan multikultural ini adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme yang anti terhadap adanya kontrol dan tekanan yang membatasi dan menghilangkan kebebasan manusia. Selanjutnya, pendidikan multikultural ini justru menjadi motor penggerak dalam menegakkan demokrasi, humanisme dan pluralisme yang dilakukan melalui sekolah, kampus dan institusi-institusi pendidikan lainnya.[14]
Sejarah kelam yang panjang yang dialami negara-negara Eropa dan Amerika seperti kolonialisme, perang sipil di Amerika dan Perang Dunia I dan II, sebenarnya juga menjadi landasan utama kenapa pendidikan multikultural ini diaplikasikan di kedua benua besar tersebut. Sebagaimana yang tertulis dalam sejarah, pada tahun 1415 hingga awal tahun 1900-an, negara-negara utama di Eropa, seperti Spanyol, Inggris, Portugis, Prancis, dan Belanda, telah melakukan ekspansi dan penjajahan terhadap negara-negara lain di Asia, Amerika, dan Afrika.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sangat diperlukan. Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada seluruh jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sekaligus juga untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka.
Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk membangun kecakapan dan keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkannya.
Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah, peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, humanis dan pluralis.[15]
3. Multikulturalisme Sebagai Resolusi Konflik
Keragaman tradisi dan budaya Indonesia merupakan suatu kenyataan yang antara lain tumbuh dan berkembang selama berabad-abad di negeri kepulauan ini, usaha-usaha untuk mengakrabkannya dengan berbagai tradisi dan budaya lokal masih terhitung langka. Pemikiran dan perumusan kembali Islam yang bersesuaian dengan konteks-konteks sosio-kultural lokal, agar memiliki pijakan yang kukuh, harus berangkat dari akar spiritual Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an.[16] Tidak ada pemikiran apapun yang bisa diklaim sebagai pemikiran Islam jika tidak memiliki basis dalam akar spiritual tersebut.
Indonesia juga memiliki potensi konflik lain yang dapat menimbulkan integrasi nasional, yaitu potensi konflik antarsuku, agama, ras, golongan, pusat-daerah, sipil-militer, lembaga-lembaga pemerintah/negara, Jawa-non Jawa, penguasa-masyarakat, dan lain-lain. Selain itu, terdapat potensi konflik yang mewarnai implementasi otonomi daerah, seperti konflik antarpemerintah lokal (saling berbatasan), konflik-konflik antarkekuatan rakyat berbasis lokal melawan aparat pemerintah, konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan sebagainya.
Umumnya konflik tentang identitas dalam suatu masyarakat cenderung lebih rumit, bertahan lama serta sulit dikelola, sedangkan konflik yang berciri primordial sulit dipecahkan karena sangat emosional. Untuk mengatasi itu semua, tidak ada resep mujarab yang langsung menyembuhkan karena selalu muncul interaksi rumit antar kekuatan berbeda di samping variabel kondisi sosial wilayah tanah air.
Pola penyelesaian konflik di suatu daerah tak mungkin diterapkan di daerah lain. Oleh karena itu, dalam menentukan langkah penyelesaian berbagai peristiwa konflik perlu dicermati dan dianalisis, tidak saja berdasarkan teori-teori konflik universal, tetapi perlu juga menggunakan paradigma nasional atau lokal agar objektivitas tetap berada dalam bingkai kondisi, nilai, dan tatanan kehidupan bangsa kita. Faktor-faktor sebagai pendukung analisis pemecahan konflik tersebut antara lain: aktornya, isu, faktor penyebab, lingkupnya, usaha lain yang pernah ada, jenis konflik, arah/potensi, sifat kekerasan, wilayah, fase dan intensitas, kapasitas dan sumbernya, alatnya, keadaan hubungan yang bertikai, dan sebagainya.[17]
Sebagai sebuah catatan bahwa dalam upaya menyelesaikan konflik haruslah dipahami betul kompleksitas serta kerumitan konflik yang dihadapi. Semua harus sadar bahwa setiap konflik memiliki kompleksitas masing-masing sehingga tidak bisa begitu saja mengaplikasikan sebuah teori untuk menyelesaikannya. Semua juga harus ingat bahwa selain teori-teori resolusi konflik yang ada, sebenarnya masyarakat juga memiliki budaya sendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Namun demikian, penyelesaian konflik sering melupakan adat dan budaya lokal tersebut. Untuk itulah penting untuk menggali kembali kekayaan budaya sendiri.
C. Konsep Pendidikan Multikultural
1. Pengertian Pendidikan Multikultural
Pada dasarnya, pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Pembelajaran berbasis Multikultural di era globalisasi ini merupakan dasar pokok yang harus dimiliki oleh para pendidik, karena dalam pembelajaran ini pendidik harus merubah cara pandang mereka terhadap obyek pembelajaran (anak didik) tidak hanya dianggap sebagai individu tetapi harus ditempatkan sebagai warga lokal dan global.
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa definisi pendidikan multikulturaltidak ada atau tidak jelas keberadaannya. Dalam menafsirkan pendidikan multikultural terdapat perbedaan antara satu pakar dengan pakar lainnya, semua itu tergantaung pendekatan yang digunakan oleh para pakar tersebut.
Meminjam pendapat andersen dan cusher (1994:320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian James Banks (1993:3), mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/Sunatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.[18]
Ada dua istilah yang penting berdekatan secara makna dan merupakan suatu perkembangan yang berkesinambungan, yakni pendidikan multietnik dan pendidikan multikultural. Pendidikan multietnik sering digunakan di dunia pendidikan sebagai suatu usaha sistematik yang berjenjang dalam rangka menjembatani kelompok-kelompok rasial dan kelompok-kelompok etnik yang berbeda dan memiliki potensi untuk melahirkan ketegangan dan konflik. Sementara itu, pendidikan multikultural memperluas payung pendidikan multietnik sehingga memasukkan isu-isu lain seperti gender, hubungan antar agama, dll.[19]
Menurut HAR Tilaar pendidikan multikultural tidak bertujuan untuk menghilangkan perbedaan, akan tetapi menghilangkan prasangka, menimbulkan dialog, mengenal perbedaan sehingga timbul rasa saling menghargai dan mengapresiasi. Dari sini diharapkan akan muncul modal kultural bangsa, karena bangsa yang kehilangan modal kultural akan sangat rawan perpecahan.[20]
2. Pendekatan Pendidikan Multikultural
Mendesain pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tantangan dan rintangan yang tidak ringan. Perlu disadari bersama bahwa pendidikan multikultural tidak hanya sebatas “merayakan keragaman”. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau perbedaannya dari budaya yang dominan akan berjalan dengan aman dan harmoni.[21]
Dalam bukunya, Choirul Mahfud menyebutkan lima pendekatan dalam proses pendidikan multikultural.[22] Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun non-formal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi.
Pendidikan multikultural adalah suatu keniscayaan. Ia merupakan paradigm dan metode untuk menggali potensi keragaman etnik dan kultural nusantara, dan mewadahi dalam suatu manajemen konflik yang memadai. Pendidikan multikultural merupakan kearifan dalam merespon dan mengantisipasi dampak negatif globalisasi yang memaksakan homogenisasi dan hegemoni pola dan gaya hidup. Ia juga jembatan yang menghubungkan dunia multipolar dan multikultural yang mencoba direduksi isme dunia tunggal ke dalam dua kutub saling berbenturan antara Barat-Timur dan Utara-Selatan.[23]
3. Karakteristik Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural mengusung pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan. Pendidikan ini dibangun atas spirit relasi kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan dan interdependensi. Ini merupakan inovasi dan reformasi yang integral dan komprehensif dalam muatan pendidikan agama, agama yang bebas prasangka, rasisme, bias an stereotip. Pendidikan multikultural memberi pengakuan akan pluralitas, sarana belajar untuk perjumpaan lintas batas dan mentransformasi indoktrinasi menuju dialog.[24]
Kini inovasi pendidikan multikultural memperoleh momentumnya. Secara umum, pendidikan multikultural menegaskan mengenai perlunya pembelajaran tentang berbagai hal untuk masyarakat yang beragam. Para pemikir pendidikan multikultural memandang penting untuk memperhatikan factor keragaman kelompok kultural dalam masyarakat yang perlu dipelajari, ada pula yang memfokuskan pada tindakan sekolah, dan ada pula yang fokus pada pandangan bahwa adanya antara teori dan praktik dalam pendidikan multikultural.
Secara umum karakteristik multikultural sendiri adalah sebagai berikut:[25]
a. Sikap terhadap batasan
1) Integritas, masing-masing jalan dihargai, memungkinkan berbagai jalan dengan jalan lain.
2) Terbuka untuk dijelajahi.
3) Bisa berhimpit dan tumpang tindih.
4) Batasan relatif samar dan memelihara semua batasan.
b. Sikap terhadap orang lain
1) Keragaman hal biasa (plural is usual).
2) Sharing dan kerjasama.
3) Pro-eksistensi, kompromi, proporsional dan rasional.
4) Post-kolonial.
5) Memahami dan menilai pandangan sendiri dan menghargai pandangan orang lain.
6) Setara dalam perbedaan, saling mengisi dan saling menyapa.
7) Multi integritas bermartabat.
Secara lebih luas dalam pendidikan multikultural terdapat beberapa karakteristik yang kemudian diharapkan dapat menyusun suatu definisi dan pedoman relatif untuk memaknai apa itu pendidikan multikultural lebih mendalam.
Diantara karakteristiknya yaitu, (1) belajar dalam perbedaan melalui pengembangan sikap toleran, empati dan simpati, klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama, pendewasaan emosional, kesetaraan dalam partisipasi sehingga diharapkan mampu menumbuhkan pola pikir baru yang kemudian mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang ada, (2) membangun sikap saling percaya. Rasa saling percaya adalah salah satu modal terpenting dalam penguatan kultural masyarakat madani, (3) memelihara sikap saling pengertian, (4) menjunjung sikap saling menghargai, (5) terbuka dalam berpikir. (6) apresiasi dan interdependensi, (7) resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.[26]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pendidikan multikultural, ada dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut James Blank ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:
1. Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran;
2. Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran;
3. Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik;
4. Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajarannya;
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik.
B. Saran
Mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut.
1. Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka.
2. Munculnya Gejala Diskontinuitas
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah.
3. Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak
Pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
4. Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep.
DAFTAR PUSTAKA
Baidhawy, Zakiyuddin dan Jinan, Mutohharun. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: Pusat Studi Budaya Dan Perubahan Sosial UMS. 2003
Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga. 2005
Cholil, Suhadi (ed). Resonansi Dialog Agama Dan Budaya Darikebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi, Yogyakarta: CRCS. 2008
Danim, Sudarwan. Pengantar Kependidikan. Bandung: Alfabeta. 2010
Ihsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 1997
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. yogyakarta: pustaka pelajar. 2006
Muliawan, Jasa Ungguh. Epistemologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2008
Naim, Ngainun dan Syauqi, Ahmad. Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz media. 2008
Yakin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. 2005
www.google.com//penyelesaiankonflikberbasisbudaya.com Di unduh pada 10 mei jam 16.00
[1] Jasa Ungguh Muliawan, Epistemologi Pendidikan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 1
[2] Ibid, hlm. 134
[3] Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 114
[4] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan... hlm. 115
[5] Sudarwan Danim, Pengantar Kependidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 44
[6] Ibid. hlm. 46
[7] Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural. (Jakarta: Pustaka pelajar). p. 103
[8] Ibid. hlm.75
[9] Ngainun Naim dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2008) hlm. 125
[10] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural… hlm. 76
[11] Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga,2005), hlm. 3
[12] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural... hlm. 248
[13] M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 23
[14] Ibid, hlm. 24
[15] Ibid. hlm. 26
[16] Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta: Pusat Studi Budaya Dan Perubahan Sosial UMS, 2003). hlm 151
[17] www.google.com//penyelesaiankonflikberbasisbudaya.com Di unduh pada 10 mei jam 16.00
[18] Choirul mahfud, Pendidikan Multikultural… hlm. 168
[19] Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam… hlm. 6
[20] Suhadi Cholil (ed), Resonansi Dialog Agama Dan Budaya Darikebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: CRCS, 2008), hlm. 4
[21] Choirul mahfud, Pendidikan Multikultural… hlm. 183
[22] Ibid. hlm. 184
[23] Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Islam… hlm. 17
[24] Ibid. hlm. 74
[25] Ibid. hlm. 69-70
[26] Ibid. hlm. 78-84
0 komentar:
Posting Komentar